Laman

Sabtu, 30 November 2013

Memahami teka-teki Tuhan

          Apa kau bilang? Teka-teki Tuhan? Bukankah Tuhan tak pernah memainkan teka-teki-Nya? Tidak. Ternyata kau salah. Tuhan memiliki teka-teki yang sangat indah. Teka teki yang hanya bisa ditebak oleh orang-orang yang mensyukuri nikmat-Nya dan selalu mengambil hikmah didalamnya. Cobalah kau tengok lagi kebelakang, hal apa saja yang kau rasa kau tak sanggup melakukannya tetapi sudah kau lewati saja. For example: bila umurmu sudah 17 tahun, maka kau telah bersekolah paling tidak 12 tahun. Berarti kau sudah menaiki 12 anak tangga. Dan disetiap tangganya diberikan pelumas. Tak mudah, hanya saja orang yang memiliki sepatu berduri tajam bisa melewatinya. Lantas dimana teka-teki Tuhan? Bukankah itu hanya ujian? Ah ya, aku hampir lupa. Ujian itu mirip dengan teka-teki. Bila ujian itu diakhir, maka teka-teki itu di awal. Hanya itu saja bedanya. Tetapi teka-teki Tuhan tentu berbeda dengan teka-teki manusia. Bahkan jauuuuuh lebih indah dan mengesankan. Bagaimana tidak? Permainan yang akan menjadi kisah kehidupan kita.
         Aku sedang melewati masa teka-teki itu. Teka-teki yang selalu menggeliat di atas kepalaku. Teka-teki yang sangat susah kutebak. Sampai aku sering tak tidur di malam hari. Teka-teki yang berfikir akan hari esok, lusa, dan seterusnya. Bahkan untuk 10 tahun yang akan datang. Jadi apakah aku nanti? Siapa orang yang mendampingiku nanti? Apakah anak-anakku akan bebal sepertiku? Teka-teki yang seharusnya sudah bisa kujawab saat ini. Seharusnya aku banyak berkaca dari apa yang sudah dan sedang aku lakukan. Seharusnya hari ini lebih baik daripada hari kemarin. Seharusnya hari ini sudah dapat menebak satu kosa kata Tuhan untuk merangkai teka-teki hebat-Nya itu. Ah, Indahnya kuasa-Mu Tuhanku. Tiada sanggup lagi aku berkata-kata.
"Petiklah hikmah dan jangan pedulikan darimana dia berasal" - Rindu Ade
 Dan bahwa tanpa kita sadari, bahwa semua dari kita itu MISKIN. Kita sebenarnya hanya tinggal di dunia milik-Nya dan kita hanya MENUMPANG. 
       

Rabu, 27 November 2013

Untuk Hari Esok

                         Hujan menderai pelupuk kota siang ini. Sungguh aku menyukainya. Wangi lembab yang menghantui sepanjang perjalanan di kota. Jalanan yang basah dipenuhi nikmat dari-Nya. Hujan? Ah, rasanya sangat menarik untuk diperbincangkan. Bahkan untuk dirasakan. Sangaaaat bermakna. Apalagi ketika hujan meresonsinasikan masa lalu yang indah. Masa lalu yang hanya untuk dikenang, bukan untuk ditangisi. Sekali lagi, bukan untuk ditangisi. Dan hujan juga membuatku bersyukur akan kehadiran orang-orang yang melukis memori didalam kehidupanku. Sesekali menyakitkan. Sesekali menyenangkan. Manusia diciptakan karena berbagai macam alasan, ada yang diciptakan untuk membahagiakan, ada pula yang untuk menguji kesabaran. Oh ya, kau tahu apalagi yang membuatku menyukai hujan? Karena aku bisa melukis embun dimanapun dia berada. Itu menyenangkan sekali. Sama menyenangkannya dengan ketika aku bersama dengan orang-orang terkasih.
                         Sebut saja namanya embun. Lucu ya? Ya, karena ketika melihatnya hatiku terasa ditetesi oleh sejuta embun. Basah tanpa ampun. Sejuk menderai derai. Apalagi ketika siang itu. Aku tak tahu mengapa aku merasa berbeda sekali. Dia juga tampaknya sangat berbeda. Matanya memandangiku sangat lama. Aku hanya tertunduk. Mencari tahu apa yang sebenarnya dia fikirkan. Selama ini? Bukankah dia selalu berlaku yang sama. Memulai sepotong pembicaraan yang tampaknya basa-basi. Kalau kata orang sih, just making conversation. Mata itu redup sekali hari ini. Aku biasa-biasa saja. Tak diam. Tak juga terlalu berisik. Aku takut dibilang salah tingkah, takut juga dibilang terlalu kalem. Jadi biasa-biasa saja.
                          Hey kau tahu? Kau selalu datang dalam mimpi-mimpiku terakhir ini. Sebenarnya mimpi yang tidak pernah aku fikirkan sebelumnya. Mimpi yang tak ku impi-impikan. Siapa kau? Ngobrol saja paling banyak cuma 3 kali. Tahu sifatmu bagaimana saja tidak. Lantas mengapa terlalu sering datang dalam mimpi-mimpiku? Suka? Ah, sangat jauh rasanya dari rasa itu. Yang jelas aku bahagia saat kali berbicara denganmu. Walau basa-basi yang sangat basi. Cinta apalagi. Mana mungkin.
                          Kenapa? Ada apa sebenarnya? Apakah Tuhan sedang memainkan teka-teki takdir-Nya? Ataukah namamu dan namaku sebenarnya disandingkan di Lauhul Mahfudz? Biarlah, biarkanlah teka-teki ini begini. Tak usah dipahami. Agar kelak menjadi bahagia untuk esok hari. Biarlah, biarkanlah aku simpan dalam-dalam rasa dihatiku apabila memang ini yang dinamakan cinta. Tak usah dirasakan lagi. Agar kelak menjadi kejutan untuk esok hari. Biarlah, biarkanlah aku menapaki jalanku dengan tujuan yang lurus-lurus saja. Agar esok hari tak celaka....

Selasa, 26 November 2013

Tarian kunang-kunang

         SABTU MALAM- Kota ini sangat ramai. Sama ramainya dengan pasar ketika subuh mulai menjelang. Ada yang sibuk pulang dari perkerjaannya, ada juga yang berdiam diri di rumah, ada yang berkeliling-keliling kota dengan keluarga mereka, bahkan ada yang memaknainya dengan hari kebersamaan dengan yang terkasih. Ah, sejak kapan mulanya sabtu malam disebut malam minggu yang harus dihabiskan dengan berpacaran? Aku tak mengerti, sama sekali belum mengerti. Malam yang sangat ramai diluar sana. Yang didalam rumah hanyalah orang yang menjaga dirinya baik-baik. Yang tahu bahwa terlalu banyak bahaya dan ketidaknyamanan di luar sana. Macet, sama sekali tak bergerak. Bahkan untuk berhenti sejenak untuk beribadahpun rasanya sulit. Lantas mengapa harus keluar? Tak adakah hari lain yang lebih baik? Hei! Coba kau cerna apa yang kukatakan. Tidak. Aku tak memaksamu untuk sepakat dengan pendapatku. Aku hanya ingin kau mencernanya. Tidak memakannya matang-matang tanpa dicerna terlebih dahulu.
        Ditambah lagi dengan suasan semeraut kota besar. Bahkan rumah makan serta kafe sangat penuh hari itu. Asap rokok bertebaran sana sini. Belum lagi, apabila kita bermotor. Asapnya tak pantas sekali di hisap! Aku memilih diam dirumah. Menghabiskan malam untuk beristirahat. Tepatnya beristirahat dari kepenatan setelah sibuk belajar dan memikirkan segala sesuatu tiap harinya. Khusus sabtu malam, aku menyempatkan diriku untuk bebas dari segala fikiran. Tak memikirkan sesuatu yang berat, kecuali itu sangat mendesak. Aku lebih suka membaca novel dan meminum segelas kopi hangat dan cemilan lainnya. Bukankah itu jauh lebih nikmat? Walau kenikmatan aku dan kau tentunya berbeda. Nikmat itu relatif. Tak akan sama satu dengan yang lain. Kalaupun sama, pasti alasannya berbeda. Atau setidaknya aku memilih untuk tidur selepas sholat isya atau juga mendengarkan murhatal. Tidak kubiarkan bisikan busuk dari syaitan menghasutku untuk bersedih memikirkan sesuatu.
         Dan malam ini aku memilih untuk mendengarkan murhatal sambil menulis sepucuk surat cinta di pojok kamarku yang menjorok ke arah jendela kaca yang lebarnya sekitar 3x5. Tidak tahu untuk siapa. Yang jelas aku ingin menulis saja. Aku tiba-tiba teringat bagaimana romantisme cinta Ali dan Fatimah. Cinta dalam diam yang sangaaat indah. Mereka saling mencinta sejak lama, namun baru saling mengetahui ketika mereka menikah. Bagi mereka, cinta adalah ketika sudah berada didalam ikatan suci pernikahan. Bukan yang belum sah dan tak tahu kejelasannya. Tidak ada yang tahu mereka saling mencinta, bahkan dari golongan jin juga tidak tahu. Mungkin nanti, nanti aku juga akan menemukan seperti cermin diriku. Bahwa lelaki baik adalah untuk wanita baik. Aku mulai menulis. Sebaris. Dua baris. Tiga baris. Sepuluh baris. Tiga belas baris. Dan terhenti sejenak di baris ke lima belas. Tiba-tiba saja pena ditanganku terhenti. Otakku juga berhenti berfikir kata romantis itu. Ku dongakkan kepala ku. Ku pejamkan sejenak mataku. Rasanya sangat lelah. Atau mungkin mengantuk. Kemudian kubuka lagi mataku. Aku menyeka keringat di dahiku. Seperti habis berlari sepuluh meter rasanya. Sangat lelah. Selama itu juga aku berfikir, mengarahkan mataku ke arah jendela. Gelap. Hanya ada lampu lentera diluar sana. Ya, lampu yang ada dihalaman rumahku. Tiba-tiba sesuatu yang bercahaya menghampiriku. Membentuk formasi tarian yang indah. Bermain-main satu sama lain. Menyapaku seakan tahu bahwa aku butuh ketenangan menulis. Kau tahu? Mereka adalah segerombolan kunang-kunang. Yang membuat hati siapa saja yang melihatnya tenang. Aku tersenyum. Seolah memberi sapaan kembali pada mereka. Seolah berkata, "Selamat malam, juga!" mereka memainkan tarian yang semakin lama semakin indah. Kira-kira 30cm didepan kaca jendelaku. Dan mereka juga menyadarkanku tentang kuasa-Nya, bahwa Dia menyiptakan sesuatu pasti ada gunanya. Walau seekor kunang-kunang yang kecil. Walau yang tak terlihat oleh mata biasa sekalipun. Indaaaaaah sekali. Malam itu juga kutemukan sesuatu bahwa Kenikmatan cinta kepada-Nya adalah seperti tarian kunang-kunang malam ini. Bercahaya, membentuk keindahan ditengah gelapnya malam itu. Malam yang sepi bagi orang yang memilih menyendiri. Kulanjutkan sampai baris ke tiga puluh. Rasanya sangat banyak sekali yang melekat diotakku setelah melihat mereka datang. Tak akan berhenti kata-kata romantisme itu apabila tak kuhentikan. Mereka tak kalah hebatnya dengan tarian manusia. Malah menurutku jauh lebih hebat. Tapi tahukah kau bahwa kunang-kunang juga latihan menari sambil belajar terbang? Siapa yang mengajarkannya? Ibunya? Ayahnya? Beda sekali dengan manusia. Mereka diajarkan langsung oleh Tuhan mereka. Koreografer terhebat yang membuat formasi sebegitu indahnya. Maka nikmat Tuhan-Mu yang mana yang kau dustakan? 

Senin, 25 November 2013

Segelas teh hangat

            "TANDU!!!! MANA TANDU? ADA SESEORANG PINGSAN DI LAPANGAN!" seru suara menderu. Membuat sekolah seketika ramai mendatangi lapangan. Burung-burung pun berterbangan ketakutan. Hewan-hewan berlari saking gaduhnya. Siapa yang pingsan? Kenapa dia sampai bisa pingsan? Ah, ternyata dia! Sialnya dia! Seseorang yang apabila aku bertemu dengannya maka mukaku memerah dan jantungku berdebar sangat kencang. Tidak, itu bukan sesuatu kebetulan yang indah. Aku bingung. Aku hanya menggeletakkan tandu didepan tubuhnya, ia tergulai lemas. Aku sangat tak tega. Mana mungkin pula aku mengangkatnya. Semua orang mengangkatnya ke UKS. Aku sangat cemas. Namun tak berani juga untuk menyadarkannya. Sesekali kulihat mukanya. Berlari. Mengambil segelas teh hangat. Mencari minyak kayu putih. Terbirit-birit. Ku lihat lagi mukanya. Akhirnya! Aku berani mendatangi tubuhnya. Semua orang tidak ada yang tahu bahwa aku memendam rasa padanya. Namun, seketika apa yang aku takutkan itu menjadi kenyataan. Dia terbangun ketika aku berada disampingnya. Ah, kacau! Jantungku berdebar semakin kencang. Aku bertanya, "Kau sudah bangun?" pertanyaan basa-basi yang seharusnya tak ku tanyakan. Tentulah ia sudah bangun. Bodoh! Dia hanya tersenyum. Entah kenapa.
                "Ini segelas teh untukmu, Tuan!" aku memecahkan kecanggungan. Saat hanya ada kami berdua diruangan 10x8 itu. Aku hampir kehilangan semua kata-kata. Ia berterima kasih. Menatap lamat-lamat mukaku sambil tersenyum. Tentu saja aku tak berani menatapnya. Tidak juga berani mengatakan apa-apa lagi. Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Satu menit. Sampai tidak ada percakapan sama sekali. Aku rasa aku harus pergi. Padahal dalam hati aku terlalu takut untuk memulai lagi percakapan. Hatiku bak gemuruh ombak yang begitu hebat saat dia tersenyum sambil menjawab pertanyaanku. Aku membalikkan badanku. Pergi menjauh ke arahnya. Satu langkah. Dua langkah. Tiga langkah. Sampai langkah ke-empat! Ya, tepat sekali dia memanggil namaku, untuk yang pertama kalinya, aku terdiam. Tak menoleh sekalipun. Aku ternganga. Mengapa dia tahu namaku? Sejak kapan? Apakah aku selalu disebut-sebut oleh teman-temannya? Atau apa? Ah, entahlah. Aku menoleh sejenak, lalu berkata, "Apa lagi yang perlu kubantu?" aku bersikap secuek mungkin. Agar tak ketahuan bahwa aku sebenarnya memiliki rasa padanya. Lagi-lagi dia tersenyum. Dia beranjak dari tempat tidurnya, mendekatiku. Ya, tepat sekali disebelah punggung kananku. Ya Tuhan, jantungku..... jantungku rasanya mau copot saat itu juga. "Terima kasih untuk tehnya, enak sekali. Teh termanis yang pernah aku rasakan. Karena pemanisnya adalah semburat senyuman di wajahmu. Teh terhangat yang pernah aku rasakan. Karena penghangatnya adalah kasihmu saat kau membangunkanku tadi." Ya Tuhan! Aku tak sanggup berkata-kata lagi. Tak juga menatapnya. Aku ingin menangis. Dia adalah orang yang mirip sekali dengan masa laluku, persis muka dan caranya berjalan serta menatapku. Persis sekali. Asal sekolah dan yang lainnya. Hanya saja, ulang tahunnya berbeda satu hari. Hanya satu hari. Tetapi sangat mirip seperti dua orang kembaran. Aku masih diam. Larut dengan kenangan masa lalu yang seperti hadir lagi dalam hidupku. Masa lalu yang seperti hidup lagi. Aku menggeleng. Tak apa-apa. Sebenarnya ini tugasku! Dia tampak sangat kebingungan mau berkata apalagi. Aku juga sama. Kami terdiam dalam berapa waktu. "Kau suka kucing?" aku mengangguk. "Sama, aku juga menyukainya, bukankah itu sangat lucu? Aku senang sekali memainkan bulu-bulunya. Sangat lembut. Suaranya juga lucu, apalagi yang masih bayi!" dia memecah keheningan itu. Dia seakan tahu semuanya tentangku. Aku tertawa kecil. Sungguh, dia mirip sekali dengan masa laluku.
              Selama ini aku diam, diam selama setahun. Ya, s-e-t-a-h-u-n dan tak pernah penat dengan perasaan dan orang yang itu itu saja! Memang wanita, apabila sudah jatuh cinta sulit untuk bangun lagi. Hffft... Aku terdiam di depan pintu ruangan pengap itu. Tentu saja tidak ada pendingin ruangan. Itu kan untuk orang sakit. Aku menghela nafas. Dan tiba-tiba dia mendatangiku, "Aku mencintaimu..." Hah? Apa katamu? Cinta? Apa itu cinta? Aku tak mengenalnya sejak dia pergi. Tak lagi untuk siapapun rasanya. Tapi kehadiranmu, sungguh seperti menghidupkan kembali rasa itu. Kau hadir lagi, Tuan! Kau bak air yang menyiram dedaunan dan bebungaan yang layu itu! Kau disini lagi, Tuan! Seakan memberi kabar baik pada seisi dunia, terutama aku. Aku tak mudah mengatakan rasa itu, maka aku hanya terdiam. Tiba-tiba aku berlari menuju lantai tiga kelasku. Begitu cepat langkah kaki itu. Semakin salah tingkah. Kutinggalkan dia sendirian disana. Maaf, Tuan! Hatiku bukan untukmu. Namun, baru sampai aku di anak tangga ke delapan lantai dua. Aku tersandung oleh anak tangga itu. GDBUKKK!!!!! Jatuh tanpa ampun. Sakit sekali! Seiring dengan terjatuhnya aku juga dari tempat tidur. Sialan! Itu hanya mimpi. Mimpi indah yang setidaknya membangunkanku dari mimpi buruk...... Mimpi buruk? Ah tidak juga bisa dibilang begitu. Yang jelas, saat bangun tidur badanku sakit sekali. Sudah lama aku mimpi jatuh tetapi tidak jatuh dari ranjang. Yang jelas, saat bangun tidur perasaanku sungguh berbunga-bunga.
              Hai, Tuan! Kau hadir lagi disini. 
              Walau hanya dalam kembang mimpi.
              Walau hanya figuramu yang tercermin disini.
              Aku merindukan engkau!
              Sungguh merindu.......