Laman

Rabu, 24 September 2014

Dia telah kembali pada-Nya

Bismillahirrahmanirrahim... Ya Allah, pertama-tama aku ingin memohon pada-Mu untuk tidak mengizinkan air mataku jatuh satu tetes pun saat menuliskan semua ini. Sebenarnya sudah sejak lama aku ingin menulis ini, namun yang terjadi hanyalah derai air mata yg tak berkesudahan.

Takbir menggemah. Bahagia merasuk dalam jiwa. Hari yang fitri akhirnya datang juga. Namun, tidak beserta kebahagiaan di langit rumah kami. Masih teringat jelas bagaimana bahagia saat malam takbiran itu datang, bercumbu dipangkuanmu layaknya seorang anak kecil yang ingin dimanja, berbagi cerita seperti biasanya. Namun, pagi yang menyakitkan itu tiba-tiba menggantikan kebahagiaan malam kami. Tepat tanggal 28 juli, 13 hari setelah ulang tahunnya. Pukul 05.00, aku telah melihatnya tak lagi berdaya. Punggung yang tadinya kokoh, sekarang terlihat lemas. Mata yang tadinya berbinar, sekarang tampak lelah. Kebahagiaan benar benar terkoyak saat ini. Aku melihatnya tidak lagi sama. Matanya tak lagi bisa melihat lurus, bibirnya sudah memengot, memopong tubuhnya saja dia tidak bisa. Ada apa sebenarnya? Ayah, bukankah kau baik baik saja semalam? Kami bergegas memanggil kakak kami, karena rumah kami sudah tidak serumah lagi dengannya. Dengan kencang, kakakku membawa mobilnya sambil penuh derai airmata. Ibuku terlemas duduk disampingnya dan juga bercucuran air mata tanpa henti. Satu jam... Dua jam.... Tiga jam.... Menunggu agar dia mau diajak ke rumah sakit, namun beliau tidak mau. Ayah, ayolah waktu kita tak banyak. Karena semakin lama kau dirujuk kau akan semakin sulit. Akhirnya, ia mengiyakan. Di dalam mobil, ia masih bersenda gurau seperti biasanya. Tidak pernah sedikitpun aku mendengar dia mengeluh kesakitan, padahal aku tahu sekali bahwa itu pasti sangat menyakitkan. Sesampainya dirumah sakit, melihatnya dibopong aku seperti melihat seseorang yang bukan ayahku. Ayahku tak mungkin selemas itu. Ayahku adalah orang terhebat dan terkuat. Dirumah sakit, saat sedang ditanganu oleh dokter aku terus beruraian air mata. Dia memelukku erat, mengelus elus rambutku dengan mesra dan berkata, "Adek harus kuat, adek harus tegar ya" tangisanku semakin kencang. Membuncah begitu hebatnya. Disaat ia masih harus berjuang, ia malah menguatkanku tanpa menghiraukan dirinya sendiri. Sesaat setelah kami berbicara, tiba-tiba ia tak bersuara lagi. Dia terdiam dan terpejam. Kami kira dia tertidur. Tetapi ternyata, suster membangunkannya dan dia sudah tidak sadar lagi. Namun, Allah masih berbaik hati. Nadinya masih berdenyut. Jantungnya masih berdetak. Aku menjerit sekuat-kuatnya hingga semua orang di dalam UGD harus memopongku. Allah, izinkan aku lebih lama disampingnya. Aku mohon......
Keesokan harinya, tanggal 29 Juli 2014, tak henti hentinya aku membacakan surat yasin untuknya. Tak henti hentinya aku membimbingnya untuk membaca syahadat. Kukuatkan dia, kubisikkan ditelinganya, "Ayo pa.... Semangat! Papa kan mau lihat adek jadi dokter dulu" namun tetesan air mata itu tak tertahan. Jatuh tertumpah dipipinya. Kuusap pipinya lalu kuciumi seperti biasanya. Walau dia tak bisa berbuat apa-apa. Aku tahu dia mendengar dan merasakan apa yang kulakukan padanya. Derai air matapun keluar dari sudut matanya tak henti henti. Dan badannya perlahan-lahan ia gerakkan. Bahagia bukan main, kakinya bergerak dan badannya terangkat-angkat. Kira-kira pukul 12.00 dokter memeriksanya, dan kami diperintahkan untuk keluar dari ICU. Kami pun beranjak ke mushollah rumah sakit untuk solat zuhur. Dalam solatku, masih sama. Air mata tertumpah ruah diatas sejadah. Setelah selesai berdoa. Aku dan kakakku berpelukan, kakakku bilang, "Kita harus ikhlas dek, apapun yang terjadi. Mbak tau ini berat. Tapi kita harus ikhlas dek!" aku mengangguk lalu menggeleng. Entah, aku bingung mau menjawab apa. Ayahku, seseorang yang sangat dekat denganku aku ikhlaskan begitu saja? Tidak mungkin sekali. Kami bergegas kembali ke ruang tunggu ICU. Aku, ibuku, dan ke-tiga kakakku beserta omku ada disana. Kami sedang berbincang-bincang. Tiba-tiba di speaker terdengar suara, "Keluarga pak Salim silahkan masuk!" sampai tiga kali. Kami pun serentak kesana. Dan disana dokter berkata padaku, "Ayo dek bimbing ayahnya!" setelah itu alat yang ayahku pakai berubah menjadi angka 0. Pupus sudah. Dokter berkata padaku, "Dek, ini ayahnya sudah gak ada. Kita lepas ya alatnya..." "Jangan dulu, dok. Kita tunggu 5 menit. Tunggu, dok" "Baiklah" *setelah 5 menit* "kita lepas ya dek" "Dok, tolong periksa denyut nadinya dengan alat, dok. Ayah saya masih disini!" setelah itu benar-benar diperiksa. Dan menyatakan bahwa beliau memang sudah tidak ada. Aku tertunduk lemas. Menjerit sejadi-jadinya. Kubangunkan ayahku beberapa kali. Namun takdir mengatakan lain. Ini adalah janjinya dengan-Nya. Sudah menjadi kontraknya. Aku tetap tak percaya. Kuciumi pipi, mata dan bibirnya. Aku harap dia kembali ada. Benar benar tidak ada. Aku benar-benar tak berdaya. Ibuku dan aku nyaris pingsan. Kami dibopong oleh banyak orang. Tapi kakak-kakakku menguatkan kami walau mereka juga sangat sedih dengan semua ini. Tersentak bukan main. Ya Allah, begitu cepat caramu mengambilnya........

"Kematian itu pasti. Kita semua akan kembali pada-Nya. Cepat atau lambat. Karena semua sudah tertulis jelas di lauhul mahfudz. Tugas kita bukan hanya menunggunya namun juga memperbaiki diri kita. Ajalmu tidak menunggu taubatmu" - Ayah