Laman

Senin, 26 Januari 2015

Cinta dan sepucuk surat untuk-Nya

Adalah cinta ketika dua pasang mata bertemu dan hati memuncah ruah tiada terarah...

Adalah cinta ketika goresan luka tak lagi terlihat namun hanya senyuman indah yang menggeliat....

Adalah cinta tatkala jarak dan waktu memisahkan namun rasa tiada berubah.....

Adalah cinta yang mampu membuatku menulis sajak indah ini....

Tuhan, izinkan aku jatuh hati padanya. Kuyakin dia takkan menjauhiku dari-Mu. Kuyakin dia akan membuatku semakin mencintai-Mu. Tuhan, bahkan ketika aku tak lagi bernyawa. Kuharap kau jaga dia untuk Kau pertemukan disyurga menemui-Mu. Namun, bila umurku dan dia Kau izinkan untuk menua. Izinkan kami menua bersama dalam atap yang sama. Yang cintanya Kau halalkan. Yang akan Kau ridho sepanjang hidup kami.

Sementara ini. Jaga dia untukku, Tuhan. Jangan biarkan seseorang merasuki perasaannya lebih dari aku. Jangan biarkan dia terlena oleh cinta yang lebih dari aku. Aamiin

Jumat, 23 Januari 2015

Lebih dari aku

Akan selalu ada orang yang lebih dari aku. Entah dari kecantikannya yang sangat mempesonamu. Hingga kau lupakan aku.

Akan selalu ada orang yang lebih dari aku. Entah dari kepandaiannya. Yang selalu membuatmu mengerti banyak hal.

Akan selalu ada orang yang lebih dari aku. Entah dari akhlak mulianya. Yang bicaranya lebih anggun daripada aku.

Namun, percayakah kau? Bahwa tidak akan ada orang yang mencintaimu lebih dari aku. Yang bahkan dalam setiap doaku selalu ia sisipkan namamu. Yang khawatir akan terlenanya kau di kejauhan sana. Yang bahkan, jarak bukanlah sebuah masalah baginya. Cintaku masih sama. Tetap utuh terbingkai dalam etalase. Tidak tersentuh oleh siapapun.

Kamis, 22 Januari 2015

Wanita

Ada yang tahu mengapa wanita diciptakan Tuhan? Adalah untuk menjadi pendamping kaum adam dalam menjalani kehidupan. Bukan hanya itu. Namun juga untuk membesarkan anak-anak mereka kelak di masa depan.

Jadi, ada sebuah cerita dari seorang guru saya yang sangat inspiratif tentang kodrat wanita. Disimak ya:
Mereka adalah dua orang sahabat lama. Yang bertemu dalam satu reuni sekolah. Sebut saja A dan B. Si A adalah lulusan universitas X yang sangat tidak ternama di Indonesia. Si B adalah lulusan univesitas no.1 di Indonesia. Jadi, ketika mereka bertemu dan berbincang. Hal yang pertama sekali yang mereka tanyakan tentu saja masalah pekerjaan.
A: kamu kerja dimana?
B: saya? Ah, saya mengasuh anak saja dirumah. Bagaimana denganmu?
A: apa? Mengasuh anak? Bukankah kamu lulusan universitas yang sangat ternama itu? Kalau saya walaupun lulusan universitas sekecil itu, alhamdulillah saya sekarang bekerja dan menjadi manager.
B: iya, betul saya mengasuh anak saja di rumah.
A: lantas? Bagaimana dengan kuliah tinggimu itu? Kan sayang sekali ilmunya sia-sia? Terus mengapa kamu tidak membayar pengasuh aja sih?
B: *sambil tersenyum* duhai sahabatku, bolehkah aku bertanya padamu? Lulusan apa pengasuh anakmu?
A: yaelah. Boro boro lulusan apa. SD aja ga tamat.
B: nah, itulah beda anak kamu sama anak saya. Anak kamu diasuh oleh orang yang tidak berpendidikan. Berbeda dengan anak saya, yang diasuh oleh tangan ibu yang berpendidikan.

Maka benarlah. Entah akan berkarir atau berumahtangga. Seorang wanita harus berpendidikan tinggi. Karena setiap anak berhak diasuh oleh ibu yang cerdas.

Senin, 19 Januari 2015

Si Bungsu

Anak terakhir? Ah, apakah yg tersirat dalam benak kalian saat ini adalah sifat manjanya? Atau selalu dimanjakan oleh kedua orang tuanya? Ya, mungkin terkadang anggapan itu benar. Ayah saya memang sangat memanjakan saya, bahkan ketika dulu saya masih SD dan malas untuk bangun pagi. Ayah saya membangunkan saya dengan kecupan dipipi saya dan menggendong saya sampai saya terbangun dan tiba tiba berada tepat di depan kamar mandi. Lagi lagi saya terkecoh, ayah, kau selalu berhasil ya! Tak beda dengan ayah, ibu juga sangat memanjakanku. Buktinya ibu selalu membuatku teh hangat ketika pagi hari. Sarapannya juga tak lupa. Bahkan kurang kurang ibu menyiapkan bekalku untuk ke sekolah. Ah, jasa kalian sekecil itupun sulit kulupakan rasanya.... Dan masih banyak sekali kemanjaanku yang lainnya.

Tapi, tahukah kalian? Bahwa kemanjaan anak bungsu hanyalah bersifat sementara. Percayalah, ketika sang anak berumur 16 tahun ke atas. Waktunya dia berfikir bahwa anak bungsulah yang harus minimal sejajar dengan kakak-kakaknya. Belum lagi, karena umur ibu yang sudah renta. Takkan sanggup meninggalkan ibu sendiri di rumah tercinta ini. Karena aku dan ibu tinggal berdua dirumah sekarang. Tanpa ayah kami. Yah, lagi lagi ayah. Memang sering membuat rindu si ayah. Hehehe. Kau tahu? Anak bungsu itu banyak juga tak enaknya. Misalnya ketika ibu sakit. Kau yang pulang sekolah harus rela menyisihkan waktumu hanya sekedar untuk masak makanan bagi kalian berdua. Lebih dari itu, mencuci pakaian, menjemurnya sambil diselingi dengan belajar itu tidak mudah. Percayalah, aku sangat kewalahan dengan semua itu.

Namun, percayakah kau pada takdir-Nya? Tahu mengapa Allah menjadikan aku sebagai anak bungsu? Adalah karena Allah mempercayai orang tuaku menua bersamaku. Karena Allah begitu mencintai hamba-Nya yang taat lagi mencintai orang tuanya. Ah, semoga saja. Doakan aku tak pernah mengeluh akan semua ini. Doakan juga ibuku dan aku sehat-sehat saja. Aamiin...

Minggu, 18 Januari 2015

Entah

Ada air yang turun dari atas langit. Pun bersamaan dengan air yang keluar dari ujung ujung sungai mataku. Tak terbendung lagi. Hanya dekapmu yang kuharap mampu menghangatkan.

Ada seekor rayap berbisik. Mengejek sepi seolah ia tak sendiri. Padahal teman sejatinya adalah sepi. Lalu mengapa harus mengutuki?

Ada sebuah harap yang tertahan di langit langit kamarku. Bahwa mimpi adalah suatu hal yang harus diperjuangkan dalam hidup. Bahwa mimpi itu harga mati yang akan dibayar.

Ada sebuah doa yang tergantung di sisi sisi kamar. Tak terlihat. Sama membingungkan dengan yang lainnya. Sama saja. Aku hanya tidak tahu apa yang harus ku doakan.

Ada sebuah kebingungan yang menjerit dari balik tembok. Dan hanya keluh lidah yang diam dapat memilih. Walau sampai saat ini tiada kata yang bisa terucap.

Jumat, 16 Januari 2015

Klimaks kebingungan

    Aku terdiam. Tersentak dalam kebingungan yang sesungguhnya. Membawa lamunanku semakin jauh entah kemana. Menerawang masa depan dan menerjang semua bahagia.
   Rasanya semua beban sedang berada di pundakku saat ini. Menjadi anak terakhir tidak selalu menyenangkan. Tapi bisa jadi kau harus minimal sejajar dengan kakak-kakakmu yang sudah bekerja. Atau lebih tinggi satu tingkat.
   Entahlah, aku memang sedang berada dalam klimaks kebingungan. Puncak tertinggi dari segala kegalauan yang pernah kurasa. Menjadi dokter gigi? Ah, sangat ku inginkan! Semoga Tuhan mengabulkan tiap doa doaku dibawah tetesan hujan ini. Semoga juga langit membuka pintunya agar tersampaikan, pun malaikat-malaikatku meng-aamiin-kan tiap doa-doaku. Aku hanya tidak ingin mengecewakan mereka yang sudah menaruh amanah. Ini bukan beban, anggap saja amanah. Bukankah begitu?
    Ibu, bila kelak aku menjadi dokter gigi di masa depan. Izinkan aku membahagiakanmu di masa tuamu. Sungguh, hanya kaulah yang menguatkanku saat ini....